Senin, 06 Desember 2010

Konflik Antar Sukubangsa Melayu dan Dayak Dengan Madura di Kab. Sambas, Kalbar

Kerusuhan Sambas dan Pemicunya
Frustasi sosial yang meluas dan mendalam karena merasa bahwa kehidupan mereka itu didominasi secara curang dan sewenang-wenang dan dengan cara kekerasan oleh orang Madura telah membuat orang Melayu hanya mampu menggerutu dan mengeluh. Tidak seorang pun di antara mereka, sebelum kerusuhan Melayu-Madura itu terjadi, yang berani menantang dominasi tersebut. Mereka hanya ikut bersorak sorai di dalam hati pada waktu terjadi kerusuhan Dayak-Madura di Sanggau Ledo pada tahun 1996-1997, dimana orang-orang Madura yang terbunuh cukup banyak jumlahnya. Kebudayaan dan kesukubangsaan orang Dayak berbeda dari yang dipunyai olehn orang Melayu. Corak kesukubagsaan orang Dayak mirip dengan corak kesukubangsaan yang dipunyai oleh orang Madura. Kebudayaan orang Dayak juga mirip dengan kebudayaan orang Madura. Orang Dayak mampu untuk melawan kekerasan orang Madura dengan kekerasan dan mampu untuk melawan kekejaman dengan kekejaman yang sama atau bahkan lebih kejam dari pada yang telah dilakukan oleh orang-orang Madura.
Menurut keterangan sejumlah tokoh Dayak dan tokoh Madura yang saya jumpai di Singkawang pada tahun 1999, antara tahun 1962-1999 telah terjadi kerusuhan berdarah sebanyak 11 kali. Kerusuhan dengan banyaknya korban yang terbunuh dan harta benda yang hancur yang diderita oleh kedua belah pihak adalah kerusuhan yang terjadi pada tahun 1996-1997 (lihat Suparlan 1998). Pada setiap konflik berdarah antara Dayak-Madura yang telah terjadi selama 11 kali tersebut, konflik selalu dihentikan dengan sebuah upacara perjanjian damai yang diwakili oleh para tokoh dari masing-masing pihak. Tetapi setiap perjanjian perdamaian Dayak-Madura yang telah dibuat sebanyak 11 kali tersebut selalu dilanggar oleh orang Madura yang dengan secara khilaf melukai atau membunuh orang Dayak dalam suatu persengketaan.
Orang Madura yang berani mati bukan hanya karena memang berani mati yang dikarenakan mempunyai prinsip “harga nyawa cuma sebenggol”, tetapi juga karena mereka itu percaya pada do’a dan jimat atau isim yang diberikan oleh para kyai atau guru mereka. Sedangkan orang Dayak memperoleh kekuataan dan keberanian dari roh-roh panglima perang yang menjadi nenek moyang mereka yang dapat dipanggil sewaktu-waktu untuk melindungi dan mempertahankan ketentraman kehidupan mereka. Untuk itu mereka harus melakukan upacara keagamaan yang dinamakan matok untuk memanggil tokoh panglima tersebut, yang dinamakan kamang tariu dimana kata tariu sebenarnya berarti teriakan , yaitu teriakan perang yang menggetarkan seluruh sendi tulang musuh yang mendengarnya, untuk merasuk ke dalam tubuh orang-orang Dayak yang memanggilnya yang merupakan anak-anak cucu dari kamang tariu atau si panglima perang. Dalam upacara tersebut persyaratan utama adalah menyembelih ayam jantan berbulu merah dan anjing berbulu merah untuk orang-orang Dayak Sungkung, Bengkayang, Selamatan, dan Seluas. Sedangkan untuk orang-orang Dayak di Jawai, Tebas, Pemangkat, Paloh dan sekitarnya yang disembelih adalah ayam jantan berbulu hitam dan anjing yang juga berbulu hitam. Darah hewan ini ditampung di sebuah mangkuk, sehingga mangkuk yang semula putih itu menjadi berwarna merah. Mangkuk berwarna merah dengan darah atau dikenal dengan nama ‘mangkuk merah’ inilah tanda bahwa orang Dayak sudah siap untuk berperang. Orang-orang Dayak yang berpartisipasi dalam upacara tersebut melantunkan do’a dan menari-nari dan menjilat darah dalam mangkuk atau menghirup baunya, yang dengan cara itu dipercaya bahwa kamang tariu telah merasuk kedalam tubuh mereka masing-masing. ‘mangkuk merah’ ini kemudian diedarkan kepada orang-orang Dayak lainnya yang tinggal dikomuniti yang bersangkutan maupun yang tinggal di komuniti-komuniti lainnya yang tersebar di kabupaten Sambas. Pengedaran ‘mangkuk merah’ ke komuniti-komuniti Dayak di daerah pedesaan yang luas adalah dimaksudkan bahwa peperangan telah siap untuk dijalankan dan solidaritas Dayak diminta untuk diwujudkan dalam bentuk partisipasi mereka di dalam kancah peperangan. Pada waktu peperangan telah berakhir, seperti yang terjadi antara orang Dayak melawan Madura, maka roh kamang tariu atau panglima perang itu harus dikembalikan ketempat peristirahatannya yang semula. Untuk itu perlu diadakan upacara lagi yang biayanya lebih mahal dari pada upacara memanggil kamang tariu. Menurut keterangan seorang tokoh Dayak yang tinggal di Singkawang upacara pengembalian roh-roh kamang tariu itu harus dilakukan agar para roh tersebut tidak mengganggu kehidupan sehari-hari orang Dayak yang mencintai kehidupan dan kedamaian dengan sesama baik yang terlihat maupun yang tidak dan baik dengan manusia maupun dengan sesama mahluk lainnya.
Berbeda dengan konflik antara orang Dayak dengan orang Madura yang telah terjadi sebanyak 11 kali, maka konflik antara orang Melayu dengan orang Madura hanya terjadi sekali yang berupa konflik berdarah antar dua sukubangsa ini secara besar-besaran dan menyeluruh serta habis-habisan. Kesan saya, dari kerusuhan-kerusuhan yang terjadi, yang sempat saya amati di wilayah Sungai Raya, adalah mengamuknya tokoh seperti Hang Jebat dalam cerita hikayat Hang Tuah. Orang-orang Melayu yang biasanya lemah lembut budi pekerti serta tutur sapanya dan penakut, telah berubah menjadi beringas dalam dalam kelompok-kelompok amuk massa yang tidak dapat dibendung atau dikendalikan lagi dalam upaya untuk menghancurkan orang-orang Madura dengan segala harta bendanya yang ada setempat. Keberingasan orang-orang Melayu, khususnya para remaja dan pemudanya, telah dipicu oleh peristiwa “Parit Setia” dan oleh sejumlah peristiwa yang sama yang berturut-turut terjadi setelah itu.
Pada tanggal 19 Januari 1999, tepat pada hari Raya Idul Fitri, warga masyarakat desa Parit Setia, kecamatan Jawai diserang oleh kira-kira 200an orang Madura dari desa Sarimakmur, kecamatan Tebas yang bertetangga dengan kecamatan Jawai. Tiga orang penduduk desa Parit Setia dibunuh dan sejumlah lainnya luka-luka. Dua orang Polisi yang menghadang orang-orang Madura tersebut dibuat tidak berdaya dan semua senjata mereka dirampas. Peristiwa “Parit Setia” tersebut bermula dari peristiwa yang telah terjadi sebelumnya, yaitu pada tanggal 17 Januari 1999, dimana seorang pencuri asal Madura dari desa Sarimakmur, kecamatan Tebas, tertangkap basah oleh tuan rumah pada waktu sedang mengumpulkan barang-barang di rumah dari penduduk setempat setelah mebongkar pintu rumah tersebut. Pencuri sial tersebut dikeroyok, ditangkap, dan dipukuli sampai babak belur oleh tuan rumah yang kecurian dan oleh para tetangganya. Pada pagi harinya, tanggal 18 Januari 1999, pencuri tersebut diserahkan kepada Pos Polisi setempat. Petugas kepolisian di Pos Polisi membawa si pencuri ke Puskemas untuk diobati luka-lukanya, dan setelah itu disuruh pulang. Alasannya karena Polisi tersebut tidak berani menanggung resiko kalau Pos Polisi diserang dan dihancurkan oleh orang-orang Madura lainnya.
Apa yang menyakitkan hati orang-orang Melayu dari peristiwa penyerangan di desa Parit Setia oleh orang-orang Madura dari desa Sarimakmur adalah teriakan ‘Allah hu Akbar’ berkali-kali yang dikumandangkan oleh para penyerang tersebut. Teriakan ‘Allah hu Akbar’ ini dibarengi dengan teriakan-teriakan ejekan “Melayu Kerupuk” dan “Melayu Kalah 3-0” (artinya orang Melayu di desa Parit Setia meninggal 3 orang dan tidak satupun orang Madura yang meninggal ataupun terluka dalam penyerangan tersebut). Teriakan-teriakan ini terdengar dengan jelas oleh orang-orang Melayu warga desa Parit Setia yang bersembunyi di semak-semak belukar di desa itu dan menyaksikan pawai kemenangan orang-orang Madura yang dengan berkendaraan truk berkeliling desa. Para pemuda Melayu dari desa-desa di kecamatan-kecamatan yang berdekatan dengan kecamatan Jawai menjadi resah dan bersiap-siap untuk menyerang desa Sarimakmur, dan menghancurkan rumah-rumah orang Madura. Berkat hambatan dan cegahan dari orang-orang tua mereka, maka upaya para pemuda dan remaja Melayu itu dapat digagalkan. Pada tanggal 23 Januari 1999 berkat bantuan dari para pejabat di kabupaten Sambas dan tokoh-tokoh Melayu, para tokoh desa masyarakat Parit Setia dan desa Sarimakmur di pertemukan dan diadakan perdamaian. Suasana yang panas telah menjadi reda berkat perjanjian perdamaian tersebut, walaupun orang-orang Melayu masih memendam rasa sakit hati karena tidak sepatah kata ‘minta maaf’ pun yang dilontarkan oleh pihak orang Madura atas kematian dan luka-luka yang diderita oleh warga desa Parit Setia.
Pada tanggal 21 Januari seorang preman Madura yang naik kendaraan umum dari kota Singkawang ke arah kota Sambas tidak mau membayar biaya angkutan pada waktu dia berhenti di dekat desa Semparuk. Merasa sakit hati karena dipelototi oleh kenek dan supir yang orang Melayu, si preman Madura tersebut pulang ke rumah mengambil clurit. Dengan berbekal clurit dia menghadang kendaraan umum tersebut yang kembali ke arah kota Singkawang, menyuruh kendaraan tersebut berhenti dan menclurit si kenek. Pada jam 01.00 tanggal 22 Januari 1999, keesokan harinya, orang-orang Melayu di desa Semparuk yang sebagian besar adalah para pemuda dan remaja menyerang rumah si preman Madura yang bernama Rodi bin Muharap. Tetapi Rodi bin Muharap tidak ditemukan dan sebaliknya seorang pemuda Melayu meninggal dunia karena ditembak dengan menggunakan senjata lantak oleh orang-orang Madura teman Rodi. Peristiwa kematian pemuda Melayu tersebut membakar kemarahan para pemuda dan remaja Melayu yang sudah tidak dapat dikendalikan lagi oleh orang-orang tua mereka. Pada jam 02.00 pagi hari itu juga mereka menyerang dan membakar serta menghancurkan rumah-rumah dan ruko-ruko milik orang Madura yang ada di desa-desa dan pinggiran kota di wilayah kecamatan Tebas, Pemangkat, dan Jawai. Sejumlah orang Madura meninggal dunia dan luka-luka, dan tercatat 60 buah bangunan rumah dan ruko yang dihancurkan. Kegiatan untuk menghancurkan orang-orang Madura dan rumah-rumah serta harta benda mereka berlangsung terus sampai tanggal 27 Februari 1999.
Pada tanggal 27 Februari 1999 penyerangan orang-orang Melayu terhadap orang-orang Madura dihentikan atas perintah orang tua dan tokoh-tokoh Melayu di Sambas, karena pada hari itu ditanda tangani perjanjian perdamaian orang Melayu-orang Madura oleh para tokoh dari kedua belah pihak dengan disaksikan oleh pimpinan dan para pejabat kabupaten Sambas. Tokoh-tokoh dari kedua belah pihak juga sepakat untuk masing-masing secara individual tidak membawa senjata tajam di tempat-tempat umum. Tetapi perjanjian tersebut dilanggar oleh seorang Madura asal desa Sempadung yang pada tanggal 14 Maret 1999 menikam seorang pemuda Melayu yang menegurnya karena membawa parang secara terbuka di jalan umum. Hari itu juga orang-orang Melayu mengambil tekad tidak akan lagi berdamai dengan orang-orang Madura. Sejak saat itu juga perang antara para pemuda Melayu dengan orang-orang Madura berlangsung di desa-desa dan di kota-kota dalam wilayah kabupaten Sambas. Kalau sebelum peristiwa ini orang-orang Madura yang menyerang orang-orang Melayu yang ketakutan, maka keadaannya sekarang menjadi terbalik. Kampung-kampung orang Madura di kota Singkawang dan di desa-desa yang tercakup dalam tiga kecamatan di bagian selatan dari kota Singkawang secara relatif masih aman karena belum diserang habis-habisan oleh orang-orang Melayu sampai dengan minggu ke-empat bulan April 1999. sedangkan di wilayah timur dan utara di kabupaten Sambas keadaannya dapat dikatakan sudah tidak ada lagi orang Madura dan rumah serta harta milik mereka yang utuh. Orang-orang Madura tersebut dengan cepat diungsikan dengan pengawalan ketat oleh para petugas keamanan untuk menghindari jumlah korban yang lebih besar daripada yang sudah ada.
Kerusuhan berdarah antara orang Melayu dengan orang Dayak nampaknya tidak cukup bagi orang Madura. Karena mereka itu masih mencari musuh lainnya, yaitu orang Dayak yang telah menjadi musuh bebuyutan mereka. Pada tanggal 16 Maret 1999, pukul 15.00 waktu setempat, di dusun Parakan Tanjung (yang merupakan dusun yang komunitinya secara homogen terdiri atas orang-orang Madura), dari desa Harapan, kecamatan Pemangkat, sekelompok orang Madura mencegat sebuah kendaraan umum yang melintas di jalan raya di tepi dusun tersebut. Kendaraan umum tersebut dalam perjalanan mengangkut buruh dan pekerja dari daerah kecamatan kota Sambas ke arah kota Singkawang. Dalam kendaraan umum tersebut terdapat dua orang Melayu, tiga orang Jawa dan 26 orang Dayak. Kesemua penumpang dapat melarikan diri dan bersembunyi di semak dan belukar di tepi hutan dan kemudian diselamatkan oleh orang-orang Melayu di desa Melayu yang berdekatan, kecuali satu orang Dayak yang dapat ditangkap oleh orang-orang Madura dan dibunuh di tempat itu juga. Orang Dayak yang dibunuh oleh orang Madura tersebut, Martinus amat bin Paran, adalah warga desa Selawit, kecamatan Salamantan, yang terletak di sebelah timur kota Singkawang.
Kematian Martinus telah menyebabkan keluarga dan orang-orang Dayak melakukan upacara matok dan mengedarkan ‘mangkuk merah’ kekomuniti-komuniti Dayak lainnya di kabupaten Sambas. Penyerangan terhadap orang-orang Madura sekarang ini tidak lagi hanya dilakukan oleh orang-orang Melayu tetapi juga oleh orang-orang Dayak dengan cara-cara seperti pada waktu masih berlakunya pengayauan, dengan cara-cara pemenggalan kepala dan mutilasi tubuh serta kanibalisme. Situasi masyarakat kabupaten Sambas betul-betul rusuh. Petugas keamanan dari Polri dan Brimob serta PHH (pasukan Anti Huru Hara dari ABRI) tidak mampu untuk mengatasi kerusuhan dan pembunuhan serta pembakaran dan penghancuran rumah-rumah orang Madura. Orang-orang Madura di timur kota Singkawang, yaitu di daerah Bengkayang dan sekitarnya, habis dibunuh oleh orang-orang Dayak atau lari mengungsi ketempat-tempat penampungan pengungsian dan berada dibawah perlindungan petugas keamanan. Setiap hari pada waktu itu selalu terdengar berita dibunuh atau dilukainya orang-orang Madura serta pembakaran rumah dan harta benda mereka. Korban yang terbunuh dan luka-luka bukannya hanya orang Madura tetapi juga orang-orang Melayu dan Dayak walaupun jumlahnya relatif sedikit. Jumlah pengungsi Madura yang tercatat di tempat-tempat penampungan pengungsi di Pontianak dan di kota Singkawang ada 37.000 orang. Orang-orang Melayu dan Dayak di kabupaten Singkawang telah bertekad untuk menghancurkan atau mengusir orang Madura dan berbagai atributnya dari wilayah kabupaten Sambas. Cara-cara yang mereka lakukan adalah dengan kekerasan, karena menurut mereka orang Madura hanya mengerti bahasa kekerasan. Karena situasinya yang rusuh ini, Kapolda Kalimantan Barat pada bulan April 1999 mengeluarkan perintah tembak di tempat bagi para perusuh dan menangkap siapa saja yang kedapatan membawa senjata tajam di tempat-tempat umum.

Obyek Wisata Daerah Kalimantan Barat

 Pontianak

Pontianak merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Barat dengan wilayah yang terpencar-pencar, Pusat perdagangan Kota Pontianak berada di bagian Utara yaltu di Jl. Rahadi Usman yang berada di dekat kawasan terminal angkutan (feri) sungai. Kota ini menjadi terkenal karena dilalui garis khatulistiwa hingga menjadi pertemuan dua sungai besar yaitu Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Kota Pontianak dibangun pada tahun 7770 oleh seorang pedagang asal Arab bemama Syarif Abdurrahman Al Gadri. Menyusuri sungai besar di Pontianak merupakan salah satu kegiatan yang menarik karena wisatawan dapat melihat langsung kehidupan masyarakat setempat, salah satunya adalah mengunjungi Pasar Kapuas Besar. Pasar yang berada di tepi Sungai Kapuas ini merupakan salah satu atraksi wisata paling menarik di Pontianak. Waktu terbaik menyakslkan transaksi juai beli di pasar tradisional ini adalah pada sekitar pukul lima hingga delapan pagi.
Di tengah perjalanan menyusuri sungai Anda bisa juga mampir di Monumen Khatulistiwa, tiga kilometer dan pusat kota. Setelah itu menyinggahi Makam Batu Layang, makam keluarga Kesultanan Pontianak dan perjalanan bisa diteruskan ke Kampung Dalam Bugis.
Di  cabang sungai  tempat pertemuan  Sungai Kapuas Besar dan  Sungai Landak berdiri Istana Kesultanan Kadariah yang memiliki masjid kuno Jami' Sultan 100 meter di sebelah Selatan Masjid Jami' terdapat Istana atau Keraton Kadariyah. Istana Kerajaan Pontianak ini terletak  di Kampung Dalam Bugis, Pontianak Timur yang saat ini digunakan sebagai museum. Bangunan tua yang cukup megah ini dilapisi cat kuning yang melambangkan kebesaran kerajaan Melayu.
Di dalam bangunan dapat ditemui berbagai peninggalan kerajaan seperti kursi singgasana, pakaian, keris, meriam dan sebagainya. Keraton yang berukuran 30 x 50 meter ini merupakan keraton terbesar yang ada di Kalimantan Barat. Istana yang terbuat dari kayu belian ini dibangun oleh Sultan Syarif Abdurrahman pada tahun 1771. Sebanyak delapan sultan pernah tinggal di istana ini setelah wafatnya sultan pertama Syarif Abdurrahman pada tahun 1808. Sultan Pontianak terakhir rneninggal tahun 1978.
Masjid Abdurrahman adalah Masjid pertama yang dibangun di Kota Pontianak ini terletak di tepi Sungai Kapuas berhadapan dengan Istana atau Keraton Kadariyah. Masjid ini juga dikenal dengan sebutan Masjid Jami yang merupakan masjid Kesultanan Syarif Abdurrahman yang memerintah Kesultanan Pontianak dari tahun 1770 hingga wafatnya pada tahun 1808.
Masjid yang memiliki arsitektur masjid Sumatera ini memiliki atap persegi empat yang bertingkat-tingkat yang keseluruhannya terbuat dari kayu. Masjid ini memiliki desain yang indah baik di dalam maupun di luarnya. Anda dapat menyewa perahu dari dermaga Pinisi di Jl. Sultan Muhammad menyeberangi Sungai Kapuas untuk mengunjungi masjid ini.
Museum Negeri Pontianak, berlokasi di Jl. Ahmad Yani di dekat Universitas Tanjungpura di bagian Selatan Kota Pontianak. Di dalam museum terdapat benda-benda yang berasal dari masyarakat Suku Dayak Kalimantan Barat seperti pakaian, alat-alat rnusik, berbagai peralatan dan hasil kerajinan tangan.
Museum ini juga memiliki koleksi keramik atau tempayan yang berasal dari Pulau Kalimantan dan luar negeri seperti Thailand dan Cina. Koleksi kendi di museum ini memiliki ukuran dari yang kecil hingga yang sangat besar dan berasal dari abad ke-16.
Tugu Khatulistiwa Pontianak merupakan salah satu dari sedikit kota di dunia yang dilewati garis khatulistiwa. Garis Khatulistiwa atau garis ekuator adalah garis khayal yang membagi bumi menjadi dua bagian yaitu Utara dan Selatan. Untuk menandai keistimewaan Kota Pontianak ini dibangunlah Tugu Khatulistiwa atau Equator Monumen pada garis lintang nol derajat yang terletak di Siantan, sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Pontianak ke arah Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak.

Keraton Sambas Objek Wisata Bersejarah di Kalimantan Barat

keraton-sambasPusat pemerintahan Kesultanan Sambas terletak di sebuah kota kecil yang sekarang dikenal dengan nama Sambas. Untuk mencapai kota ini dapat ditempuh dengan kendaraan darat dari kota Pontianak ke arah baratlaut sejauh 175 km, melalui kota Mempawah, Singkawang, Pemangkat, dan Sambas.
Lokasi bekas pusat pemerintahan terletak di tepi kota Sambas. Di daerah pertemuan sungai Sambas, Sambas Kecil, dan Teberau, pada sebuah tempat yang oleh penduduk disebut Muare Ullakan (Desa Dalam Kaum) berdiri keraton Kesultanan Sambas.
Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas terletak di daerah pertemuan sungai pada bidang tanah yang berukuran sekitar 16.781 meter persegi membujur arah barat-timur.
Pada bidang tanah ini terdapat beberapa buah bangunan, yaitu dermaga tempat perahu/kapal sultan bersandar, dua buah gerbang, dua buah paseban, kantor tempat sultan bekerja, bangunan inti keraton (balairung), dapur, dan masjid sultan.
Bangunan keraton menghadap ke arah barat ke arah sungai Sambas. Ke arah utara dari dermaga terdapat Sungau Sambas Kecil, dan ke arah selatan terdapat Sungai Teberau. Di sekeliling tanah keraton merupakan daerah rawa-rawa dan mengelompok di beberapa tempat terdapat makam keluarga sultan.
Bangunan keraton yang lama dibangun oleh Sultan Bima pada tahun 1632 (sekarang telah dihancurkan), sedangkan keraton yang masih berdiri sekarang dibangun pada tahun 1933. Sebagai sebuah keraton di tepian sungai, di mana sarana transportasinya perahu/ kapal, tentunya di tepian sungai dibangun dermaga tempat perahu/kapal sultan bersandar. Dermaga yang terletak di depan keraton dikenal dengan nama jembatan Seteher. Jembatan ini menjorok ke tengah sungai. Dari dermaga ini ada jalan yang menuju keraton dan melewati gerbang masuk.
Gerbang masuk yang menuju halaman keraton dibuat bertingkat dua dengan denahnya berbentuk segi delapan dan luasnya 76 meter persegi. Bagian bawah digunakan untuk tempat penjaga dan tempat beristirahat bagi rakyat yang hendak menghadap sultan, dan bagian atas digunakan untuk tempat mengatur penjagaan.
Selain itu, bagian atas pada saat-saat tertentu digunakan sebagai tempat untuk menabuh gamelan agar rakyat seluruh kota dapat mendengar kalau ada keramaian di keraton.
Setelah melalui pintu gerbang yang bersegi delapan, di tengah halaman keraton dapat dilihat tiang bendera yang disangga oleh empat batang tiang. Tiang bendera ini melambangkan sultan, dan tiang penyangganya melambangkan empat pembantu sultan yang disebut wazir. Di bagian bawah tiang bendera terdapat dua pucuk meriam, dan salah satu di antaranya bernama Si Gantar Alam.
Sebelum memasuki keraton, dari halaman yang ada tiang benderanya, kita harus melalui lagi sebuah gerbang. Gerbang masuk ini juga terdiri dari dua lantai, tetapi bentuk denahnya empat persegi panjang. Lantai bawah tempat para penjaga yang bertugas selama 24 jam, sedangkan lantai atas dipakai untuk keluarga sultan beristirahat sambil menyaksikan aktivitas kehidupan rakyatnya sehari-hari.
Setelah melalui gerbang kedua dan pagar halaman inti, sampailah pada bangunan keraton.
Di dalam kompleks keraton terdapat tiga buah bangunan. Di sebelah kiri bangunan utama terdapat bangunan yang berukuran 5 x 26 meter. Pada masa lampau bangunan ini berfungsi sebagai dapur dan tempat para juru masak keraton. Di sebelah kanan bangunan utama terdapat bangunan lain yang ukurannya sama seperti bangunan dapur. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat Sultan dan pembantunya bekerja. Dari bangunan tempat Sultan bekerja dan bangunan utama keraton dihubungkan dengan koridor beratap dengan ukuran panjang 5,90 meter dan lebar 1,50 meter.
Di bagian dalam bangunan tempat Sultan dan pembantunya bekerja, tersimpan beberapa benda pusaka kesultanan, di antaranya singgasana kesultanan, pedang pelantikan Sultan, gong, tombak, payung kuning yang merupakan lambang kesultanan, dan meriam lele. Meriam lele yang jumlahnya tujuh buah hingga sekarang masih dianggap barang keramat dan sering diziarahi penduduk. Masing-masing meriam yang berukuran kesil ini mempunyai nama, yaitu Raden Mas, Raden Samber, Ratu Kilat, Ratu Pajajaran, Ratu Putri, Raden Pajang, dan Panglima Guntur.
Bangunan utama keraton berukuran 11,50 x 22,60 meter. Terdiri atas tujuh ruangan, yaitu balairung terletak di bagian depan, kamar tidur sultan, kamar tidur istri sultan, kamar tidur anak-anak sultan, ruang keluarga, ruang makan, dan ruang khusus menjahit. Di bagian atas ambang pintu yang menghubungkan balairung dan ruang keluarga, terdapat lambang Kesultanan Sambas dengan tulisan “Sultan van Sambas” dan angkatahun 15 Juli 1933. Angka tahun ini merupakan tanggal peresmian bangunan keraton.
Di bagian dalam bangunan ini, pada kamar tidur Sultan tersimpan barang-barang khazanah Kesultanan Sambas, di antaranya tempat peraduan sultan, pakaian kebesaran, payung kesultanan, pedang, getar, puan, dan meja tulis Sultan. Pada bagian dinding terpampang gambar-gambar keluarga Sultan yang pernah memerintah Sambas. (Bambang Budi Utomo\arkeolog)

Tujuan dan Tahapan Upacara Adat Naik Dango (Dayak Kanayatn)


Tujuan Upacara Adat Naik Dango adalah mengadakan pesta selamatan atas karunia yang diberikan oleh Jubata. Upacara Adat Naik Dango merupakan ungkapan syukur atas keamanan, kesehatan dan hasil panen padi yang melimpah, selain berusaha mencari terobosan baru sebagai usaha meningkatkan hasil pertanian pangan.1

Berbagai tahapan dalam Upacara Adat Naik Dango, yaitu pertama: sebelum hari pelaksanaan (hari H) terlebih dahulu diadakan pelantunan mantra (nyangahathn), yang disebut “Matik”. Tujuannya ialah memberitahukan dan memohon restu kepada Jubata bahwa besok akan diadakan pesta Adat. Kedua: pada hari H, dilaksanakan tiga kali nyangahathn, pertama nyangahathn di “Sami” (ruang tamu), yaitu memanggil jiwa atau semangat padi yang belum kembali agar datang atau pulang kembali ke rumah adat. Kedua nyangahathn di “Baluh atau Langko” (di lumbung padi) tujuannya yaitu untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya yaitu di lumbung padi. Ketiga nyangahathn di pandarengan (sejenis tempanya tempat menyimpan beras) tujuannya yaitu berdoa untuk memberkati beras agar dapat bertahan dan tidak cepat habis.

Nyangahathn juga dapat disebut sebagai tata cara utama ekspresi religi suku Dayak. Nyangahathn menjadi bagian pokok dalam setiap bentuk upacara, dengan urutan tahapan yang baku, kecuali bahan, jumblah roh-roh, para Jubata yang diundang. Dari segi tahapan nyangahathn terbagi menjadi empat tahapan yakni Matik, Ngalantekatn, Mibis, dan Ngadap Buis.

1. Matik.
Matik bertujuan untuk memberitahukan hajat keluarga kepada “awa pama” (roh leluhur), yaitu mengundang mereka yang sudah meninggal di mana arwah mereka masih bergentayangan di sekitar pemukiman mereka, agar mereka datang untuk menyaksikan Adat Naik Dango.

2. Ngalantekatn
Ngalantekatn bertujuan untuk memohon agar semua anggota keluarga yang terlibat dalam Upacara Adat Naik Dango ini selamat dan tidak terjadi malapetaka yang menimpa mereka. Karena biasanya upacara Adat ini memakan koraban jiwa (tumbal).

3. Mibis
Mibis bertujuan agar segala dosa atau kotoran dilunturkan, dilarutkan, dan diterbangkan dari keluarga dan dikuburkan sebagaimana matahari terbenam kearah barat. Atau sejauh timur dari barat demikian jubata akan membuang dosa-dosa mereka.

4. Ngadap Buis
Ngadap Buis adalah tahapan penerimaan sesajian dari manusia kepada awa pama dan jubata, dengan tujuan ungkapan syukur dan memperoleh berkat atau pengudusan terhadap segala hal yang kurang berkenan, termasuk pemanggilan jiwa orang mati agar tenang dan tentram.

Dilihat dari kodisi bahan yang digunakan, tahap pertama sampai ketiga disebut “ Nyangahathn Manta” yakni nyangahathn dengan bahan-bahan yang belum masak(mentah), sedangkan ngadap buis disebut “Nyangahathn Masak” yakni nyangahathn dengan bahan-bahan yang sudah masak. Sebenarnya ada nyangahathn dalam bentuk sederhana, yakni doa pendek dengan sesajian sederhana: nasi, garam dan sirih yang sudah masak (kapur, sirih, gambir, tembakau, dan rokok dari daun nipah) nyangahathn sederhana ini disebut “ Babamang”.2

KEBERAGAMAN SUKU DAYAK (DAYAK BERIAM) DI KALIMANTAN BARAT

ADAT MENYAPAT TAHUN DAYAK BERIAM
Adalah sebuah ritual khusus yang dilaksanakan oleh suku dayak beriam sewaktu akan dimulainya musim tanam (berladang). Oleh sebagian besar suku dayak beriam, menyampat tahun merupakan hari yang dinanti-nantikan karena setelah sekian lama mereka istirahat mereka dapat membuat ladang kembali. Menurut salah satu tokoh adat dayak beriam (Alm. Maurum) yang pernah saya tanyai, menyapat tahan (gandang menyapat tahun) bukan hanya sebatas ritual dimulainya musim tanam atau berladang, melainkan melalui ritual ini juga terkandung nilai-nilai spiritual baik sebagai tanda bersyukur atas hasil panen pada tahun yang lalu maupun sebagai rituak untuk meminta ijin kepada Duatak (Tuhan) agar hasil panen mereka dapat melimpah kembali dan segala kesialan/hama penyakit pada tahun tersebut dihindarkan.
Ritual menyapat tahun biasanya dilaksanakan setiap tahun sekali setelah musim panen selesai dan akan dimulainya musim tanam kembali. Ritual ini biasanya dilaksanakan selama 3 (tiga) hari termasuk didalamnya gandang meminggan baras sebagai hari terakhir dilaksanakannya ritual tersebut. Bahan-bahan sebagai alat yang digunakan untuk melaksanakan ritual adapt tersebut terdiri dari nasi ketan (lakatan), tuak, beras biasa (baras padi karas), kuning hidup-hidupan, baras kuning, basi/pisau dan mangkok batu (mangkok kuno).
Pemimpin ritual adat untuk melaksanakan ritual tersebut biasanya berasal dari tokoh adat setempat (temanggung/temenggung, damung/demang, belian) dan dari tokoh masyarakat adapt sekitar yang diminta oleh para tokoh adat tersebut untuk mendampingi mereka. Masyarakat adat sendiri biasanya diminta untuk mengumpulkan beras (cupak baras) sebagai bentuk partisipasi adat yang nantinya akan mereka simpan dirumah setelah ritual adapt tersebut berakhir dan sebagian digunakan untuk melaksanakan ritual adat menyapat tahun tersebut.

Meriam Karbit Terbesar dari Sungai Kapuas


kebanggaan tersendiri bagi masyarakat kota Pontianak, Kalimantan Barat. Melalui perhatian yang serius dari pemerintah dan masyarakat setempat, kini sungai Kapuas menjadi suatu bagian objek wisata andalan kota Pontianak yang banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara.

Salah satu objek wisata yang sangat menarik minat ribuan pengunjung baik lokal maupun mancanegara adalah permainan MERIAM KARBIT yang diadakan setiap tahun di tepian sungai Kapuas yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri dan terdapat ratusan meriam karbit sepanjang Sungai Kapuas..

Sejarah
Permainan MERIAM KARBIT merupakan suatu tradisi dan budaya masyarakat tepian sungai Kapuas secara turun-menurun yang dimainkan oleh anak-anak dan orang dewasa. Tradisi MERIAM KARBIT ini terkait dengan sejarah berdirinya Kota Pontianak. Pada abad 17 Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie akan membuka kota Pontianak, Syahdan mendapat gangguan dari Kuntilanak. Sultan lalu menembakkan meriam dari kapalnya untuk mengusir Kuntilanak tersebut. Dan nama kuntilanak inilah yang kemudian dipakai menamai Kota Pontianak.

Melalui teknologi informasi yang semakin maju dan dukungan media informasi cetak maupun elektronik membuat permainan ini dikenal luas hingga saat ini, antusias masyarakat membuat permainan ini ditunggu-tunggu oleh ribuan pasang mata setiap tahunnya.
Beberapa tahun terakhir, permainan MERIAM KARBIT mencapai puncak kesuksesannya dengan meraih REKOR MURI melalui Parade yang diikuti 150 Meriam Karbit milik 31 Kelompok masyarakat sepanjang sungai Kapuas dengan tema meriam terbanyak dan terbesar di sepanjang sungai Kapuas tepatnya.
http://www.pasarkreasi.com/dirmember/00001/suparlan/content/content-1328-20081021-6-38-110/large/suparlanmeriam-pontianak_1328_l.jpg

AJARI II akan telusuri Sejarah Kebudayaan dan Peradaban sepanjang sisi Sungai Kapuas

Arung Sejarah Bahari (AJARI) II yang digelar Direktorat Geografi Sejarah, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) kali ini akan mengadakan penelusuran sejarah kebudayaan dan peradaban di sepanjang sisi Sungai Kapuas di Kalimantan Barat (Kalbar).
AJARI II yang akan diikuti sekitar 100 peserta terdiri mahasiswa terbaik dari seluruh Indonesia dan pejabat di lingkungan Depbudpar dalam penyusuran di sepanjang sisi Sungai Kapuas pada 15-20 Juli 2007 tersebut juga mengadakan sejumlah kegiatan antara lain diskusi interaktif, presentasi, dan pegelaran seni budaya.
Direktur Geografi Sejarah Depbudpar, Endjat Djaenuderadjat dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (9/7) menyebutkan, kegiatan AJARI II dengan mengusung tema "Mengarungi Lautan, Menyusuri Sungai, Menguak Peradaban" dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan jiwa dan semangat kebaharian khususnya di kalangan generasi muda serta meningkatkan kesadaran akan kemajemukan bangsa.
"Kegiatan itu juga digunakan sebagai forum silaturahmi dan diskusi bagi peserta dari berbagai wilayah di Indonesia dengan demikian diharapkan akan terbentuk sebuah jaringan masyarakat generasi muda maritim yang bersifat nasional," kata Endjat Djaenuderadjat seraya mengatakan selain itu kegiatan ini untuk mendorong perjalanan wisata bahari dalam program Ayo Tamasya Jelajahi Nusantara, Kenali Negerimu Cintai Negerimu.
AJARI II merupakan kegiatan arung atau menjelajah samudera luas serta sejarah yang bermakna kehidupan manusia di masa lampau. Sehingga kegiatan itu bermakna mengarungi lautan sejarah atau sejarah kehidupan manusia dalam suatu lingkup dan tingkat peradaban yang telah dicapainya.
Dikatakan, sejarah yang dimaksud di sini adalah suatu pengalaman yang dapat dipetik dari masa lampau agar kehidupan masa kini menjadi pelajaran yang lebih baik dan bekal bagi masa depan yang gemilang.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, lebih dari 80% teritorialnya merupakan laut, yang berfungsi sebagai pemersatu bangsa dalam konteks masyarakat multikultural.
Laut dengan segala potensi geografis dan historisnya menjadi faktor intergratif dalam proses menjadi Indonesia sebagai negara maritim. Meskipun sektor bahari sangat menonjol dalam kehidupan bangsa Indonesia, namun sesungguhnya hal itu tidak berdiri sendiri.
Dalam perkembangannya laut terkait dengan daratan atau pertanian dan industri dalam arti luas. Lahirnya kerajaan Sriwijaya yang berkembang pada Abad ke-6 berawal dari perpaduan antara potensi daratan dan lautan, yaitu dengan menggunakan suatu sistem yang oleh para sejarahwan dan antropolog disebut sebagai sistem persuangaian atau riverine system . (Humas)